13 Desember 2013

Roma: Dari Jaman Romulus - Remus Hingga AS Roma - Lazio


Jangan pernah takut tersesat bila Anda sedang menikmati denyut kehidupan ‘kota abadi’ ini. Tinggal sebut “Roma, Totti, Olimpico” maka pertolongan siap didapat. Buat yang merasa Romanisti sejati, inilah kota sesungguhnya.

Tatkala menyusuri lorong-lorong jalanan di Roma yang kebanyakan sempit dan mirip maze, Anda bisa merasakan betapa tua dan historisnya bekas ibukota kekaisaran Romawi tersebut. Ketika berada di kota yang menurut mitos dibangun oleh Romulus dan Remus ini, sepintas lalu Anda seperti dilontarkan ‘time machine’ menuju suatu waktu di masa silam entah kapan.

Sering kali ayunan kedua kaki melambat otomatis sebab banyak hal yang mesti disaksikan dan dikunjungi di sekeliling Anda. Mulai dari Fontana di Trevi hingga Colosseum, Piazza Del Popolo sampai Pantheon Circus Flaminius. Nuansa modern baru muncul jika Anda pergi ke kawasan Floro Italico di utara yang jadi pusat perhatian dari dua umat calcio di kota itu.

Wilayah itu mirip Senayan di Jakarta, di mana kompleks SUGBK berada. Pada musim-musimnya, Stadio Olimpico adalah bangunan yang paling sering dikunjungi secara massal selain gereja dan piazza. Percayalah, Anda akan mendapat tekstur emosi lain bila masuk ke dalamnya, menduduki kursi-kursi fiber yang sederhana atau berkumpul di Curva Sud atau Curva Nord.

Di stadion itulah Juergen Klinsmann melakukan diving yang membuat Pedro Monzon diusir wasit saat final Jerman Barat vs Argentina, Juli 1990. Di Olimpico juga, di saat yang sama, Diego Maradona menangis pilu usai laga lantaran sakit hati negerinya ‘dikerjai’ Edgardo Codesal, sang pengadil Meksiko. Pada Mei 1996, di sana pula Juventus kalah dari Ajax pada final Liga Champion.

Roma memang identik dengan sejarah dan kenangan, manis maupun pahit. Tak pelak, berbagai istilah akrab pun gampang bermuara ke ibu kota Italia ini. Misalnya ‘Roma tidak dibangung dalam sehari’ yang pernah dinyanyikan Morcheeba pada era 2000-an. Yang paling terkenal tentu adalah ‘banyak jalan menuju Roma’.

Awal Perpecahan AS Roma Dan Lazio

Sekarang khusus sepak bola, clacio. Nasihat pertama bila Anda berada di Roma adalah jangan pernah melayani debat dengan tifosi lawan. Bila adu argumen, apalagi adu urat syaraf, misalnya dengan supir taksi yang beda klub, maka resiko minimal yang diraih adalah supir itu langsung gas pol hingga kecepatan 220 km/jam serta sambil marah-marah atau menggerutu.

Itulah cara Roma mengidentitaskan sepak bola kepada dunia, memilah antara kaum Il Lupi dan I Biancocelesti. Jika Romulus dan Remus sampai saling bacok untuk membangun dan menguasai Roma, di mana akhirnya Remus tewas, As Roma pun dilahirkan dengan nuansa yang mirip-mirip tapi tanpa ada yang tewas. Barangkali ketidak cocokan membawa hikmah. Akibat semakin sengitnya pergolakan paham fasisme di tubuh FC di Roma alias Roman, klub ibu kota kelahiran 1901, perpecahan tak terhindarkan.

Pada 1927, Italo Foschi, sekretaris Partai Fasis Nasional, mengajak merger empat klub ibu kota dalam satu wadah bernama AS Roma. Selain Roman, tiga lainnya adalah Alba Audace, Fortitudo Pro-Roma SGS dan SS Lazio. Sejarah mencatat hanya Lazio yang enggan gabung akibat campur tangan sebuah faksi militer.

Waktu terus bergulir, di kemudian hari api perceraian abadi antara AS Roma dan Lazio terbukti menjadi keunikan Roma, mirip-mirip kisah Romulus dan Remus, persaingan tujuh turunan, serta DNA dalam lakon Derby della Capitale.

Hingga usianya yang ke-86, Roma telah meraih 15 gelar nasional resmi. Tiga kali Scudetto (1941/42, 1982/83, dan 2000/01) dan 9 kali kampiun Coppa Italia. Dibanding triumvirat utara (Juve, Milan dan Inter), maupun di luar Italia memang terbilang jauh. Salah satu sebabnya lantaran Roma bukanlah kota industri.

Jika Milano dan Torino adalah pusat bisnis yang menjadi urat nadi peredaran uang Negara, maka Roma hanya melakoni sebagai kota budaya yang menjadi simbol masa silam kekaisaran Romawi serta Italia masa kini. Namun demikian, kondisi ini tetap diterima anak-anak Roma dengan kebanggan luar biasa dan lapang dada mematoknya nasib, terkadang takdir.

Seperti tanahnya, udaranya, airnya, bangunannya: keturunan para leluhur mewarisi karakter yang sama. Mereka selalu yakin bahwa ‘Roma tidak dibangun dalam sehari’. Dan masih ‘Banyak jalan menuju Roma!’. Dan makna kedua kalimat ini ujung-ujungnya sama: berusahalah dengan keras, selebihnya serahkan kepada sang pengatur takdir!


0 comments:

Posting Komentar

 

Subscribe to our Newsletter

Contact our Support

Email us: antoniachekov@gmail.com

Our Team Memebers